Unggah Makanan di InstaStory, Bentuk Apresiasi atau Bahkan Eksistensi Diri?
Kanekabe.com – Terlihat dari kejauhan pramusaji yang rupawan sedang membawa nampan. Orang-orang pun sepertinya sadar bahwa itu makanan yang mereka pesan. Mereka melihat dengan penuh harapan sambil memegangi perut kosong keroncongan. Tak hanya melihat, tetapi juga menyiapkan telepon genggam dengan resolusi kamera yang tak terkalahkan. Pramusaji pun datang lalu meletakkan jamuan secara sopan sesuai dengan orang yang telah memesan. Setelah itu, apakah sebelum makan ritual berdoa masih dilakukan?
Kini berdoa mulai tergeserkan dengan ritual baru yaitu membuka fitur kamera yang dianggap lebih menarik. Namun, sebelum itu pastinya mengatur letak sajian makanan agar lebih terlihat apik. Siapa sangka kamera dengan resolusi terbaik yang telah digenggam sekarang siap untuk membidik. “Cekrak cekrik” menjadi bunyi yang identik ketika pencahayaan kamera telah selesai diotak-atik. Berlomba-lomba mendapatkan foto yang cantik agar sajian makanan menjadi ilusi optik. Dikonstruksi sedemikian rupa lalu dibagikan melalui sosial media, agar kalangan publik semakin simpatik.
Makanan Telah Menjadi Budaya yang Mendunia
Pada dasarnya makanan hanya sekedar sajian yang disantap pada saat lapar atau menjadi kebutuhan utama. Namun, kini makanan telah dipandang berbeda, karena telah dimaknai jauh dari fungsi utamanya. Makanan saat ini telah menjadi identitas budaya sebagai media masyarakat untuk menyatakan tentang siapakah dirinya (Utami, 2018). Bahkan makanan rumahan yang sederhana tidak hanya dipajang di meja makan saja. Kegiatan makan apapun, dimanapun, dan kapanpun kini dapat diceritakan ke seluruh penjuru dunia. Seperti halnya Noya (22) Mahasiswa Monash University, Jurusan Media Communication, specialisation in Public Relations.
“Disini kan temen aku nggak cuma orang Indonesia aja, banyak yang dari Thailand, China, Filipina, pokoknya berbagai macam negara ada disini. Tujuan aku sih yang pertama biar orang-orang tau macam-macam makanan mulai dari yang murah, enak, tempatnya bagus, porsinya banyak itu dimana aja, jadi buat rekomendasi gitu lah kasarannya. Terus yang kedua emang mau buat highlight sendiri di Instagram biar jadi kenang-kenangan atau memori,” ujarnya saat diwawancarai tim kanekabe (27/03/2023).
Eksistensi Generasi Z di Ruang Maya dan Unggahannya
Dikutip dari jurnal yang berjudul Instagram dalam Pembentukan Identitas Diri Generasi Z, tak dapat dipungkiri fitur InstaStory yang dimiliki Instagram membuat individu semakin ingin menunjukkan kehidupan sosial dan eksistensi diri. Pada akhirnya jika hal itu menjadi berkepanjangan kita pun akan sibuk sendiri dan haus akan atensi. Namun, di sisi lain setiap individu pastinya ingin terhubung dengan individu lain saat membagikan sesuatu seperti ini. Mungkin karena alasan narsistik atau bahkan altruistik seperti membagikan informasi. Memang menjadi salah satu misi generasi z untuk berlomba-lomba mengunggah makanan di InstaStory.
“Kalau aku pribadi emang untuk mengapresiasi hasil karya masakan aku sendiri. Mulai dari rasanya, teksturnya, bentuknya bisa aku share ke temen-temen yang mungkin bisa jadi inspirasi buat mereka. Adanya InstaStory ini juga bisa menjadi wadah buat aku mengekspresikan kegiatan masak-masak yang bikin aku happy. Apalagi sekarang di InstaStory ada fitur like yang bikin tambah semangat kalau mengunggah sesuatu yang menarik,“ ujar Addinda Sekar (22) saat diwawancarai tim kanekabe (27/03/2023).
Mengabaikan Rasa Mendahulukan Tampilannya
Mengunggah foto makanan membuat makanan tersebut tak hanya identik dengan rasa nikmat atau enaknya saja. Jangan tertipu dengan eloknya sepiring pasta, jelas terdapat proses pendokumentasian di dalamnya. Tanpa sadar selama ini kita telah terbuai dengan efek kamera. Mengunggah makanan dapat dilihat sebagai sebuah arena kompetitif dengan berbagai macam cara. Makanan yang dimakan juga menentukan kelas sosial yang ada. Cita rasa dan kisah di balik makanan tersebut menjadi nomor dua.
“Anggep aja kita sekarang lagi ada di café. Awalnya kan makanan datang nih, terus kalau misal platingnya bagus ya difoto, tapi kita belum tau nih rasanya enak atau enggak. Setelah difoto baru dimakan dan pasti tau dong rasanya gimana. Kalau misal rasanya kurang tapi fotonya bagus ya tetep di upload. Kalau rasanya enak tampilannya kurang, menurut aku makanan itu jadi kurang ada nilainya. Jadi intinya atau kuncinya ada di tampilannya dan cara kita ngefotonya gimana, itu sih kalau menurut aku,” ujar Shafira (22) saat diwawancarai tim kanekabe (28/03/2023).
Apresiasi Dikalahkan dengan Eksistensi Diri
Dikutip dari jurnal berjudul Simulakra Baudrillard dalam Multidimensi Posmodernisme: Kajian Fotografi Makanan dalam Media Sosial Instagram, unggahan foto di InstaStory merupakan salah satu perkembangan budaya visual yang semakin memperkuat simulakra dalam keseharian. Hal inilah yang dapat memisahkan objek dengan apa yang seharusnya direpresentasikan. Itulah sebabnya dapat terjadi proses imitasi dan peniruan. Kini sebelum makan menjepret makanan menjadi hal yang dilumrahkan. Sehingga arti dan fungsi dari makanan lepas dari kata apresiasi yang tak beralasan.
Dengan latar keadaan seperti itu dan berbagai alasan apapun memang semua tertuju pada eksistensi diri semata. Unggahan foto makanan di InstaStory akan menjadi budaya yang berguna apabila terdapat narasi di dalamnya. Narasi itulah yang sejatinya dapat menciptakan komunikasi, sosial, dan budaya. Namun, nyatanya sepatah narasi tenggelam dalam jepretan kamera. Bukan melulu tentang like, comment, dan orang lain yang memujinya. Manusia tidak dapat disalahkan, karena manusia hidup dalam identitasnya dengan membangun citra melalui eksistensinya.
Rasa atau tampilannya? Apresiasi atau eksistensi diri? Unggahlah foto makanan di InstaStory dengan sepatah narasi agar makanan tersebut dapat terdefinisi dan itulah cara temankane untuk mengapresiasi.