Saksi Bisu Peradaban Kota Tua, Kuliner Kenang Kisah Lama untuk Bernostalgia
Menjadi salah satu kota dengan segudang destinasi wisata, Kota Malang juga banyak meninggalkan sejarah indah di zona kawasannya. Salah satu kawasan iconic nya apalagi kalau bukan Pasar Besar Malang. Menjadi sentra perbelanjaan masyarakat Malang karena terdapat berbagai macam kebutuhan tersedia, tak heran kawasan ini menjadi destinasi belanja favorit masyarakat lokal dan tentu transaksi berlangsung ramai setiap harinya. Kawasan ini juga sudah dikenal sebagai kawasan budaya, terdapat berbagai macam etnis, dari kampung arab hingga kampung pecinan. Sebutan Kampung Pecinan ini merupakan wilayah dengan mayoritas etnis Tionghoa, berada di sekitar pasar induk pertama yang dimiliki pemerintahan Belanda. Tak heran sampai sekarang bangunannya otentik dan masih belum mengalami banyak perubahan apabila dibandingkan dengan kawasan lain.
Sebagai sentra kota pasar induk, tentu hal ini menjadikan mata pencaharian menjanjikan bagi para pedagang pangan menyajikan kudapan khasnya di Daerah pecinan Pasar Besar. Ditambah adanya berbagai faktor yang menjadikan Kota Malang berkembang dan mempunyai keberagaman kuliner. Salah satu faktor bagaimana Kota Malang dapat berkembang yaitu adanya pengaruh luar dari berbagai bangsa yang masuk ke Indonesia seperti halnya Tionghoa, Arab, India dan Eropa menjadikan Kuliner dengan citarasa yang beragam. Tak heran Daerah Pasar Besar Kaya akan Kuliner yang otentik, seperti halnya Ronde Titoni. Kudapan hangat satu ini sangat identik dengan kuliner tempo dulu andalan warga malang. Menjadi destinasi kuliner wajib dikunjungi para pelancong dan tentu agenda wajib bagi para perantau bernostalgia dengan wedang hangat yang satu ini.
Ronde Titoni telah berdiri sejak tahun 1948, Hingga kini masih eksis di gencaran kuliner baru yang semakin beragam di Kota Malang. Kisah berdiri hingga disebut dengan nama Titoni juga beriringan dengan peradaban yang terjadi di Kota Malang. Bisa dikatakan Ronde Titoni menjadi salah satu saksi bisu kota Malang seiring berkembangnya zaman. Bertahan hingga sekarang tentu bukan hal mudah, melewati pasang surut selama lebih dari tujuh dekade. Sugeng, penerus kedua Abdul Hadi (alm) menuturkan awal mula ayahnya berjualan dengan cara dipikul lalu keliling sekitar daerah Pecinan. Seiring berjalannya waktu tepatnya di tahun 1970-an Abdul Hadi memakai gerobak dan malam harinya menetap di depan toko Arloji yang bernama Titoni. Tepatnya di daerah pasar besar Pecinan, Abdul hadi melayani pelanggannya tepat di trotoar depan toko titoni, oleh karenanya diberi nama Ronde Titoni. Abdul Hadi menjual rondenya dan menetap setelah toko arloji tersebut tutup, Sebelum malam tiba ia tetap berkeliling bersama gerobaknya. Seperti diketahui bahwasanya kampung pecinan identik dengan etnis tionghoa, tak heran apabila dulunya pelanggan dari ronde ini orang-orang berada yang menaiki mobil. Mereka menikmati hangatnya ronde di waktu yang tepat yaitu saat malam hari. Para pribumi melihat mobil berjejeran mengira bahwasanya ronde ini hanya dapat dinikmati oleh kaum berada yaitu orang china kala itu, sehingga mereka enggan dan takut untuk membeli santapan hangat satu ini.
Selang beberapa tahun Kota Malang yang semakin berkembang, Ronde Titoni Pun ikut mengalami perubahan, tepatnya di tahun 1988 beralih tempat ke Jalan Zainul Arifin hingga sekarang. Dulunya Abdul Hadi berangkat dari hanya menjual satu menu saja yaitu ronde, namun berjalannya waktu menunya semakin beragam. Sugeng sendiri sebagai penerus tentu berinovasi, tapi dalam prinsipnya tetap mempertahankan rasa maupun resep, “kalau sekarang ada roti goreng, cakwe, ” ungkap Sugeng saat diwawancarai tim Kanekabe.. Sampai sekarang inovasi yang dilakukan sebatas inovasi menu dan dibantu anaknya dalam hal promosi di media sosial namun tak terlalu gencar. Dalam prinsipnya ia tetap menjaga rasa dan resep yang telah turun temurun diwariskan oleh generasi pertama, hal ini lah yang menjadikan Sugeng amat mempertahankan ciri khasnya dan benar pelanggan akan terus kembali kesini untuk bernostalgia dikarenakan rasa yang masih sama atau otentik seperti dulu kala. “Saya ini dulu kesini bareng sama mami saya sbeelum saya pindah, rasanya tetap sama kuah jahenya fresh dan rasa jahenya juga kuat,” ujar Kelik, salah satu pelanggan setia Ronde Titoni.
Nyatanya meskipun berada di zaman sekarang ditambah banyaknya inovasi baru dari kuliner di Malang, Ronde Titoni tetap eksis di kalangan generasi sekarang dan tetap memiliki pelanggan setia. Tak heran apabila Ronde Titoni mengklaim dan membawa ambience Tempo Doeloe di warung dan hidangannya. Ronde Titoni dapat dinikmati dari pukul 18.00-23.00 WIB, dan menu yang ditawarkan amat beragam, bagi kali yang tak menyukai jahe yang menyengat, bisa mencoba untuk memesan varian menu angsle dengan kuah santan yang legit. Selain angsle juga terdapat menu ronde kering, kacang kuah dan sebagainya yang dapat kamu nikmati di Ronde Titoni yang beralamatkan Jln. Zainul Arifin no.17 Malang ya!