kanekabe.com

Perempuan dan Makanan

Perempuan dan Makanan

Wanita dengan makanan begitu identik, hingga muncul di kalangan masyarakat penggolongan gender makanan (gambar: freepik/Sam Moghadam Khamseh)

Kanekabe.com – Tepatnya di tanggal 8 Maret 2023 kemarin seluruh perempuan di dunia memperingati hari International Women’s Day. Hari perempuan ini menjadi hal yang menarik untuk diulik, menjadi hari yang diperingati sebagai wujud untuk memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Peringatan ini juga sebagai bentuk pengakuan maupun prestasi perempuan tanpa adanya perbedaan etnis, budaya, bahasa, ekonomi dan politik. Dalam hal ini, keterlibatan secara aktif dalam masing-masing aspek kehidupan yang dijalani perlu dilakukan agar dapat merangkul kesetaraan serta dapat mempercepat terealisasinya kesetaraan gender.

 

Dengan beragam kampanye maupun usaha yang dilakukan untuk kesetaraan, nyatanya dalam lingkungan sehari-hari ada sebuah kebiasaan atau generalisasi cara pandang antara wanita dan pria. Cara pandang tersebut dinamakan stereotip, masyarakat memiliki cara pandang seperti apa seharusnya karakteristik dari masing-masing gender seperti norma, perilaku dan peran. Fenomena tersebut memang nyata ada pada kehidupan kita, bisa dari cara berpakaian, gesture, peran, selera musik hingga makanan. Yaap makanan, cukup terlihat sepele bukan? nyatanya masyarakat banyak menggeneralisasi sudut pandang perihal gender dengan makanan.

 

Dimulai dari teh dan kopi, perempuan lebih cocok maupun identik dengan teh sedangkan laki-laki melekat dengan kopi hitamnya. Bisa juga diibaratkan bahwasanya kopi memiliki ciri khas maskulin dan minuman teh dengan karakteristik feminim. Namun, bukankah perempuan juga mengkonsumsi kopi maupun sebaliknya? “fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan apakah makanan memiliki “jenis kelamin’’? Dikutip dari cxomedia.id, makanan adalah budaya dan segala sesuatunya tak terkecuali gender juga dipengaruhi oleh budaya, pernyataan tersebut diungkapkan oleh Silvia Benso Profesor Filsafat dan Direktur Women’s and Gender Studies di Rochester Institute of Technology. Contoh relasi antara budaya makan dengan gender yang dapat dilihat seperti, perempuan sering menyantap dengan porsi makan kecil dan terbatas sehingga sering mengkonsumsi makanan sehat. Hal itu terjadi karena adanya tuntutan untuk perempuan agar berpenampilan molek cantik dan langsing maka perempuan diharapkan untuk menjaga tubuhnya.

 

Contoh lain juga sudah terjadi saat abad ke-20, terciptanya asumsi bahwa perempuan mengonsumsi makanan yang lebih halus atau bertekstur lembut, penampilan lebih menarik seperti warna-warni. Sedangkan laki-laki mengkonsumsi daging maupun protein hewani lainnya dan porsi besar. Ternyata asumsi- asumsi tersebut berlanjut loh temankane hingga abad sekarang. Pernah mendengar Soto Qona’ah? Soto yang berlokasi di Jl. Sunan Kalijaga no.26 Dinoyo (Pujasera belakang Kampus UIN Malang). Soto ini sudah tersohor di kalangan mahasiswa di Malang, harga murah Rp. 10.000/ per porsi dengan tambahan kerupuk, lokasi strategis yaitu di kawasan mahasiswa, tak heran apabila soto ini amat digemari sebagai kudapan untuk memenuhi asupan pagi sebelum beraktivitas. Uniknya Memiliki kode rahasia yaitu adanya perbedaan porsi bagi lelaki dan perempuan, jadi apabila saat memesan menyebutkan kode rahasia yaitu porsi cowok maka penjual otomatis akan menambahkan porsi nasi yang banyak di hidangan soto tersebut. Sedangkan apabila menyebutkan porsi cewe maka nasi akan disajikan dengan porsi wajar.

Stereotip gender mengenai makanan bermunculan di masyarakat tak terkecuali pada wanita dengan makanan sehat dan manisnya (Gambar: Freepik)

Menurut Judith Butler (Pemikir Sosial Konsentrasi Gender) menyebut bahwasanya gender merupakan Konstruksi sosial. Gender bukan lagi sesuatu yang alamiah maupun yang sudah ada dari sananya, namun terbentuk karena seiring waktu melalui norma maupun kondisi sosial masyarakat. Pernyataan atau interpretasi dari Butler, memberi pemikiran baru yang lebih luas mengenai gender. Dimana sebelumnya lelaki dan perempuan dilihat sebagai sesuatu yang bersifat tetap, tak mungkin berubah seperti tubuh yang bersifat biologis maupun bersifat performative yaitu peran yang dilakukan sehari-hari. Interpretasi lain dapat dimaknai dengan sudut pandang bahwasanya gender merupakan sesuatu yang dibangun dan dibentuk, maka hal itu dapat diperuntukkan dan dibentuk kembali. Sehingga Memberi pemikiran baru bahwasanya gender bukanlah konsep yang fix melainkan terbuka akan perubahan dan dapat dinegosiasi.

 

Seperti halnya Fenomena soto Qona’ah diatas, pernyataan dari Judith Butler benar adanya,gender merupakan konstruksi sosial yang terbentuk akibat kondisi sosial maupun norma yang berlaku di masyarakat. Perempuan harusnya tak dibatasi oleh suatu hal yang membuatnya merasa tidak dapat bebas maupun dapat mendapat haknya dapat memilih makanan yang ingin ia santap tanpa melihat karakteristik hidangan feminim, tanpa memikirkan bentuk tubuh maupun stigma masyarakat dan lainnya.

 

Oleh karenanya Stereotip gender dengan makanan seharusnya tidak dipertahankan, meskipun terlihat sepele lambat laun akan menyebabkan prilaku yang diskriminatif dan seksis.Apalagi hal sesimpel dan se-esensial makanan jangan dibuat rumit dengan stereotip-stereotip yang tak berdasar.

 

Namun ada kajian lain  yang dilansir dari dailymail.co.uk, wanita memiliki gen yang mengakibatkan ingin terus mengkonsumsi makanan manis (merdeka.com). Gen tersebut mengakibatkan hormon yang berhubungan dengan rasa senang  bekerja cepat di dalam tubuh atau disebut dengan dopamin terangsang. Tak heran apabila penyuka manis didominasi oleh perempuan.

 

Relasi makanan dan perempuan ini cukupnya memiliki sudut pandang yang amat luas, dapat dikaji dari berbagai perspektif mulai budaya, kesehatan hingga sosial. Mengakibatkan banyak stigma-stigma yang bermunculan dimasyarakat seperti jenis kelamin dalam makanan. peringatan Hari Perempuan Internasional ini menjadi salah satu fungsi juga di masyarakat agar lebih memperhatikan lingkungan sekitar yang sepele yaitu makanan. Harusnya tidak ada stereotip di makanan kepada  wanita, perempuan  hanya boleh atau dapat mengonsumsi suatu menu tertentu saja atau bahkan hingga mendapat diskriminasi. Memperjuangkan Kesetaraan dan tidak membeda-bedakan apalagi mengenai hal makanan agaknya harus diterapkan dan dinormalisasikan.

 

Nah gimana nih menurut temankane, setuju gak sih dengan adanya perempuan mendapat perbedaan dalam mengonsumsi suatu hidangan makanan? atau bahkan masyarakat terus menormalisasikan porsi makanan perempuan harus sedikit dan semacamnya?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *